Jati (tectona grandis),siapa sih
yang tidak tahu pohon ini?,pohon yang sangat kokoh dengan kuwalitas tinggi ini
menjadi pohon nomor satu di Indonesia bahkan dunia sebagai kayu pertukangan.Seiring
dengan pertumbuhan jumlah manusia yang semakin banyak tentunya kebutuhan
akan tempat tinggal juga meningkat.
Makan dari itu sekarang hutan jati di Indonesia
sudah banyak yang gundul apalagi di pulau jawa.Gundulnya hutan ini disebabkan
oleh kebutuhan akan pohon jati yang tidak seimbang dengan jumlah yang
dihasilkan,apalagi dengan maraknya penebangan liar yang semakin membuat guundul
hutan di Indonesia.
Jati adalah
sejenis pohon penghasil kayu
bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi
30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau.
Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku
(തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India
selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f.
Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu
27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tempat yang paling baik untuk
pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri
dengan air.Jati memiliki daun berbentuk elips yang
lebar dan dapat mencapai 30 – 60 cm saat dewasa.
Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi
rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami
menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati. Jati biasanya diproduksi secara konvensional
dengan menggunakan biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah
besar dalam waktu tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji
yang keras. Beberapa alternatif telah dilakukan
untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam air, memanaskan biji
dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri.Akan tetapi alternatif tersebut masih
belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang
banyak.
Umumnya, Jati yang sedang dalam proses pembibitan rentan
terhadap beberapa penyakit antara lain leaf spot disease yang disebabkan
oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria
sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang disebabkan oleh Olivea
tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula
tectonae. Phomopsis sp. merupakan penginfeksi
paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994. Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur
2 – 8 bulan. Karakterisasi dari infeksi ini adalah
adanya necrosis
berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kemudian secara bertahap menyebar
ke pelepah, infeksi kemudian menyebar ke bagian atas daun, petiol,
dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang tersebut mengalami
kekeringan. Jika tidak disadari dan tidak
dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit
sehingga proses penanaman jati tidak bisa dilakukan.
Habitus
Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total
mencapai 40 m. Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18–20 m.
Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang
berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki
batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu.
Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur
memanjang batang.dan seringkali masyarakat indonesia salah mengartikan jati
dengan tanaman jabon( antocephalus cadamba ) padahal mereka dari
jenis yang berbeda.
Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa
selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter.
Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter
0,9-1,5 meter.
Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris
lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik
biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.
Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan
tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar
60–70 cm × 80–100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi
sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di
permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah
berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda
berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm ×
40 cm atau lebih besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak
payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon.
Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.
Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm,
berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang
tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai
balon kecil. Nilai Rf pada daun jati sendiri
sebesar 0,58-0,63.
Sifat ekologis dan penyebaran
pohon jati yang meranggas
Jati menyebar luas mulai dari India,
Myanmar, Laos,
Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa.
Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang
menggugurkan daun dimusim kemarau.
Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di
Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan
Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah spesies asli di Burma,
India, Muangthai, dan Laos.
Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh
Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India,
Thailand, Jawa,
Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati
alami satu-satunya berasal dari Burma. Di Afrika dan Karibia juga banyak dipelihara.
Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat
negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman di
Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam
(awal abad ke-20), dan Malaysia (1909).
Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang
nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200–3000 mm pertahun dan
dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat
yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m
dpl.
Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu
hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis pohon.
Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson yang begitu
kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon akan mati
pada saat itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir
yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai
kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, jika
terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru
memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat musim hujan tiba.
Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah
melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran
itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —yang dapat dilalui
oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain. Demikianlah, kebakaran
hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan proses pemurnian tegakan
jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain
mati.
Tanah yang sesuai adalah yang agak basa,
dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur
(Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang air.
Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jenis asing
yang dimasukkan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan
tahun yang lalu. Menurut T.Altona, penanaman jati yang pertama dilakukan oleh
orang hindu yang datang ke Jawa. Sehingga terkesan, jati didatangkan oleh orang
hindu atau negeri hindulah tempat asli dari jati. Pendapat ini diperkuat oleh
seorang ahli botani, Charceus yang mengatakan bahwa jati di Pulau Jawa berasal
dari India yang dibawa sejak tahun 1500 SM sampai abad ke- 7 Masehi.
Kontroversi ini kemudian terjawab dengan penelitian marker genetik menggunakan
teknik isoenzyme/pengujian variasi isozyme yang dilakukan oleh
Kertadikara pada tahun 1994. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa jati yang
tumbuh di Indonesia (Jawa) merupakan jenis asli. Jati di Jawa telah berevolusi
sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t.
). Jati ini mengalami mekanisme adaptasi khusus sesuai dengan keadaan iklim dan
edaphis yang berkembang puluhan hingga ratusan ribu tahun sejak zaman
quarternary dan pleistocene di asia Tenggara. Karena nilai kayunya, jati kini
juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan.
Sebaran hutan jati di Indonesia
Di Indonesia sendiri, selain
di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali
dan Nusa Tenggara.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan
jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang
menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya,
tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jenis yang
membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu, jati
membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.
Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati
secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima
di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di
Pulau Sumatera.
Pada 1817, Raffles mencatat jika hutan jati tidak ditemukan
di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berdekatan. Jati hanya
tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu
Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bagian timur laut Bima di Sumbawa
penuh tertutup oleh jati pada saat itu.
Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau
hanya di beberapa titik di bagian timur. Ada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan
1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati
sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di
Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi
Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.
Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa
1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap,
dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya
saat ini tidak kalah dengan yang ada di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya
dapat melebihi 30 cm.
Daerah sebaran hutan jati di Jawa
Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa,
mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling
banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian
650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak
lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.
Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara
alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan
jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora,
Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dihasilkan di
daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Saat ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola
oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada
2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa.
Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektare. Ini
nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas
Pulau Jawa dwipa.
Sifat-sifat kayu dan pengerjaan
Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan,
keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I
dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.
Kayu teras jati berwarna
coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bagian luar, berwarna putih dan
kelabu kekuningan.
Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan
dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furniture
dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan
seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas,
sehingga menghasilkan gambaran yang indah.
Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati
digolongkan sebagai kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah menjadi
mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.
Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat
dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan
itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel,
jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada abad ke-19
konon meminta upah tambahan jika harus mengolah jati. Ini karena kayu jati
sedemikian keras hingga mampu menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka.
Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung
Tiongkok yang terbuat dari jati karena dapat merusak baja kapal marinir Inggris
jika berbenturan.
Pada abad ke-17, tercatat jika masyarakat Sulawesi Selatan
menggunakan akar jati sebagai penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami
untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh
daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan
memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura
mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap
penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang
pahit sebagai penawar sakit.
Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun,
di Indonesia sendiri, jati jawa menjadi primadona. Tekstur jati jawa lebih
halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini.
Produk-produk ekspor yang disebut berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di
luar negeri.
Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa
jenis jati (Mahfudz dkk., t.t.):
1.
Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras,
berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin).
Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
3.
Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
4.
Jati
doreng, berkayu sangat keras dengan warna
loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
5.
Jati
kembang.
6.
Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak
kapur. Kurang kuat dan kurang awet.
Kegunaan kayu jati
Permukaan mebel jati.
Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam
sel-sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa
divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.
Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC
yang melayari samudera pada abad ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti
jembatan dan bantalan rel.
Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku
furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah
tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir
semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.
Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir
(veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain
itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.
Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk
mebel, dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas
yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.
Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh
Indonesia dan Myanmar.
Fungsi ekonomis hutan jati jawa:
hasil hutan kayu
Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati
memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.
Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan
Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian.
Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal
kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu tahun’.
Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.
Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga
dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di
pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal,
Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal
berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires
pada awal abad ke-16.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia
Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras
mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651.
VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang, Jepara, dan
Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan jauh lebih
menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang saat itu sedang mencapai
puncak keemasannya.
Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati
secara lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada
Kerajaan Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang
lahan hutan jati yang luas.
VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk
menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui
sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada
rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban
pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.
VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke
Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang
menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia.
Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara
dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar
hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal
di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak
banyak bergantung pada bahan kayu.
Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat
menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000
m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan
harga jual dasar 640 USD/m3.
Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah
karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun
demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan
semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan jati di dalam
negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor
produk kayu berasal dari produk-produk jati, terutama yang berbentuk garden
furniture (mebel taman).
Manfaat yang lain
Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai
pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi
yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang,
Cirebon.
Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe.
Berbagai jenis serangga hama
jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan orang desa.
Dua di antaranya adalah belalang jati (Jw. walang kayu), yang besar berwarna
kecoklatan, dan ulat-jati
(Endoclita). Ulat jati bahkan
kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang
musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon
untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong
ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.
Fungsi ekonomis lain dari hutan jati
jawa
Jika berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan
melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping
menghasilkan kayu jati.
Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati
memanfaatkan kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah mereka. Daun jati,
yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sebagai
pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan bakar bagi
banyak rumah tangga di desa hutan jati.
Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela
pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati
sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah
sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.
Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya
adalah gadung (Dioscorea hispida) dan uwi
(Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat paceklik.
Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe
(Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di
kawasan hutan ini.
Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan
yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik
terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari.
Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh
jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat memanen madu
lebah dari hutan-hutan jati.
Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara
ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak tersebut memerlukan
rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani kadang akan mudah
mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan
lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu
saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam jenis pakan yang
diperlukan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk
mengumpulkan rerumputan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.
Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa
Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa
dikukuhkan sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok
memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati
Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, dan cagar
alam.
Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati
dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi
non-ekonomis tersebut adalah sebagai berikut:
Fungsi penyangga ekosistem
Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan
menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berlebihan. Tajuk hutan
itu pun melakukan proses fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara
dan melepaskan kembali oksigen dan uap air ke udara. Semua ini membantu menjaga
kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung
kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan
mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga
memudahkan air dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan
tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan
ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan.
Serasah menjadi bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai
mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya,
mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah menjadi humus
tanah. Serasah pun membantu meredam entakan air hujan sehingga melindungi tanah
dari erosi oleh air.
Fungsi biologis
Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga lebih
seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati
rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan.
Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan
demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan
pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah terbawa oleh aliran air
dan tiupan angin.
Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman
yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur
(Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia
paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), Kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera
oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus
asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan
lain-lain. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun
ditanam sebagai tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan
tanah.
Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak
parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman
campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun,
lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan.
Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena
melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang
tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka
dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling
(Dalbergia latifolia).
Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang
berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan
lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung
—satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan. Selain itu,
kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya untuk masa depan.
Fungsi sosial
Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan
sebagai hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sebagai
pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan
pariwisata, serta sumber pengembangan budaya.
Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen
Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup
dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas
39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.
Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian
dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum
Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di seluruh
Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang
dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan
jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kemudian akan merawat dan
menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.
Sumber artikel : wikipedia , dephut.go.id
jangan lupa like fb dan share artikel ini,semoga bermanfaat
Hewan aneh yang barubaru ini ditemukan di indonesia https://www.youtube.com/watch?v=lTe7N8rfQ84
ReplyDeleteSekian lama saya bermain togel baru kali ini saya
ReplyDeletebenar-benar merasakan yang namanya kemenangan 4D
dan alhamdulillah saya dapat Rp.630.000.000.00 juta dan semua ini
berkat bantuan angka dari AKI MANGKUBONO
karena cuma beliaulah yang memberikan angka
ghoibnya yang di jamin 100% tembus awal saya
bergabung hanya memasang 200 ribu karna
saya gak terlalu percaya ternyatah benar-benar
tembus dan kini saya gak ragu-ragu lagi untuk memasang
angkanya 2487 2X berturut-turut saya menang
buat anda yang butuh angka 2d 3d 4d dijamin tembus
hubungi di nomor hp
<a href ="http://www.masterjituprediksion.gq/2017/06/angka-top-hari-ini-angka-kramat-angka.html?m=1”KILK DIINI BOCORAN TOGEL HARI INI 2D 3D 4D 5D 6D<a/> 085203333887 AKI MANGKUBONO
saya jamin beliau akan membantu kesusahan
anda apalagi kalau anda terlilit hutang trima kasih
https://tanparumusan.blogspot.co.id/
INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP AKI MANGKUBUNO NMR (_0_8_5_2_0_3_3_3_3_8_7.