Dapatkan Jutaan Rupiah dengan Jual-Beli Bitcoin

Sunday, 15 March 2015

Sejarah Hari Bakti Rimbawan

Selamat hari bakti rimbawan teman-teman sekalian,kita semua tahu hari ini adalah hari bakti rimbawan.awal mula dibentuknya hari bakti rimbawan adalah tanggal 16 Maret 1983, Presiden Soeharto dalam pidato pembentukan Kabinet Pembangunan IV menyampaikan perlunya pemecahan beberapa Departemen yang nantinya akan dikelola secara lebih intensif, termasuk di dalamnya Departemen Pertanian yang ketika itu masih membawahi sektor kehutanan. Sebuah cikal bakal terbentuknya Departemen Kehutanan yang hingga kini diperingati sebagai Hari Bhakti Rimbawan.

Kurun waktut iga dekade lebih memang belum bisa dianggap mewakili perjalanan panjang sejarah pengelolaan hutan di negeri ini yang telah berjalan sejak zaman kolonial. Namun bilangan 33 tahun juga tidak bisa dianggap singkat mengingat telah begitu banyak kebijakan silih berganti yang mewarnai  pembangunan kehutanan dari masa ke masa.Dari era sentralisasi hingga otonomi daerah, dari pengelolaan yang bersifat topdown kepada pengelolaan yang bersifat partisipatif, dari paradigma State Based Forest Management ke paradigma Community Based Forest Management, kesemuanya melahirkan polemik yang tidak bisa diselesaikan semata-mata dengan kiat praktis dan pragmatis.

Perubahan sistem pemerintahan dari otoritarian menuju demokrasi menjadi titik tolak perubahan paradigma pengelolaan berbagai sektor termasuk kehutanan. Hutan yang selama ini dikuasai negara diserahkan pengelolaannya kepada daerah. Pada zaman orde baru, negara dianggap telah melakukan eksploitasi hutan yang alih-alih memberikan kontribusi bagi kesejahteraan rakyat, malah dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan dan kemiskinan bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor kehutanan. Namun setelah 18 tahun sejak reformasi sebagai tonggak demokrasi dikumandangkan, impian untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan hutan agaknya masih ibarat jauh panggang dari api. Data yang menunjukkan peningkatan laju deforestasi pasca reformasi serta jumlah penduduk miskin yang tinggal di sekitar kawasan hutan merupakan indikasi bahwa otonomi daerah belum berjalan maksimal ke arah cita-cita pemerataan kesejahteraan.

Heru Nugroho (2003), menjelaskan bahwa proses demokratisasi yang awalnya ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan kehutanan yang lebih baik, dalam perkembangannya justru membawa kita ke dalam sebuah perangkap demokrasi beku (frozen democracy). Beberapa indikator yang merupakan ciri-ciri dari kondisi frozen democracy antara lain stagnasi ekonomi, lemahnya civil society hingga konsolidasi elit yang tak kunjung terwujud.

Beberapa indikator di atas sedikit banyak bisa menjelaskan kondisi pengelolaan kehutanan saat ini di daerah. Data tentang kemiskinan masyarakat kawasan hutan sebelum dan setelah reformasi membuktikan bahwa terjadi stagnasi ekonomi pada masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor kehutanan. Kesejahteraan yang diharapkan datang setelah adanya desentralisasi ternyata tak kunjung terwujud.

Lemahnya civil society yang merupakan indikator berikutnya dalam frozen democracy, adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Pelibatan masyarakat masih sebatas objek dari program, belum sampai pada tataran ikut serta dalam pengambilan keputusan. Namun pengelolaan hutan yang berbasis pada masyarakat tidak dapat juga diartikan menyerahkan begitu saja pengelolaan tanpa pembinaan dan penyiapan segenap unsur masyarakat yang terlibat di dalamnya. Pengelolaan hutan yang diserahkan kepada kelompok atau wilayah administrasi terkecil dalam masyarakat misalnya, terkadang belum dibarengi dengan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka dalam pengelolaan hutan. Hal ini dikarenakan belum maksimalnya penguatan kelembagaan pada tataran grassroot. Dapat dipahami bahwa birokrasi hari ini adalah warisan dari pemerintahan otoritarian di masa lalu yang terbiasa dengan tipe pemerintahan yang bersifat topdown. Maka hari ini, kita harus mulai menyadari dan mengubah paradigma kita tentang pembangunan kehutanan yang mengarah pada pengelolaan yang bersifat partisipatif. Kita harus benar-benar memahami dan menerima bahwa masyarakat bukan lagi sebagai objek dari demokrasi tersebut tetapi harus ikut serta juga dalam membangun kehutanan di indonesia agar tetap jaya.
Untuk itu dengan semangat Hari Bakti Rimbawan kita jaga hutan kita agar tetap lestari.

No comments:

Post a Comment